Lebak – Fokuslensa.com – Warga Desa Margatirta, Kecamatan Cimarga, Lebak, menolak nilai ganti rugi yang diberikan pada pembebasan lahan untuk jalan menuju TPS-Limbah B3. Pasalnya, nilai ganti rugi dianggap terlalu rendah, yaitu sebesar Rp 20 ribu per meter.
Koordinator Margatirta Ahim, mengatakan warga tidak menolak rencana pembangunan jalan. Permintaan warga hanya meningkatkan nilai dari Rp 20 ribu menjadi Rp 100 ribu per meter.
“Warga nggak menolak rencana pembangunan jalan, hanya saja harganya harus dinaikkan karena terlalu rendah. Nggak sebanding soalnya,” kata Ahim, Senin (18/4/2022).
Penetapan nilai harga juga terkesan memaksa. Pasalnya, nilai harga yang diberikan disamaratakan tanpa melihat lokasi lahan, semua dipatok seharga Rp 20 ribu per meter.
“Pembayaran itu harusnya melihat lokasi lahan. Ada lahan yang dekat jalan disamakan dengan harga yang ada di dalam. Semua dihargai Rp 20 ribu per meter,” tuturnya.
Kawasan Industri
Warga juga mengkritik sikap sewenang-wenang yang dilakukan pihak proyek. Pasalnya, tidak ada sosialisasi dan informasi yang diberikan kepada warga. Lahan warga langsung dipatok dan dilindas oleh alat berat.
Patok pembebasan lahan sudah terpasang, padahal warga belum sepakat dengan nilai ganti rugi.
Total ada 70 lahan milik warga yang terdampak jalan tersebut. Sebanyak 18 di antaranya mengaku sudah menjual dengan harga sebesar Rp 20 ribu per meter.
“Belum, ada yang dapat ganti rugi lagi. Itu baru yang 18 orang, katanya mau dinaikkan juga harganya tapi (18 orang) belum dapat kabar kenaikan harga,” jelasnya.
Warga membawa sejumlah spanduk saat memprotes nilai ganti rugi tersebut. Mereka menolak tanah dijual Rp 20 ribu per meter. Salah satu spanduk bertulisan ‘Lebih Mahal Rokok daripada Tanah Rakyat’.
Kata Bapenda Lebak
Dimintai konfirmasi secara terpisah, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lebak, Hari Setiono, mengatakan harga tanah di Kecamatan Cimarga dan Cikulur masih relatif rendah. Harganya pun belum diperbaharui sejak tiga tahun lalu karena daerah tersebut belum mempunyai potensi yang dapat meningkatkan nilai tanah.
Sementara berlandaskan UU No 12 Tahun 1985 tentang PBB, Bab V, Ayat 2, NJOP akan ditetapkan 3 tahun sekali melalui keputusan Menteri Keuangan.
“Idealnya berubah 3 tahun sekali. Kita ingin nilai itu tinggi tapi pajaknya bakal tinggi juga. Jangan sampai kita naikkan setinggi-tingginya malah jadi piutang. Kita bisa sesuaikan melalui penilaian khusus,” kata Hari.
“Perubahan (nilai tanah) kita nggak di daerah situ saja, misal daerah situ sudah ramai, nanti baru diubah atau dinaikkan,” paparnya.
Disinggung terkait nilai harga pada pembebasan lahan di Kecamatan Cimarga sebesar Rp 20 ribu, dia mewajarkan harga tersebut. Menurut dia, rencana pembangunan itu dilakukan oleh pihak swasta sehingga penetapan nilai harga dikembalikan antara swasta dan warga.
“Pembebasan itu biasanya kalau proyek pemerintah NJOP diapresialkan dan lebih tinggi dari NJOP. Kalau oleh swasta itu gimana pasar saja, masyarakat jual nanti dibeli kalau kemahalan ya nggak terjadi transaksi,” katanya.
Berdasarkan data yang didapat, nilai jual objek pajak (NJOP) di Kecamatan Cimarga paling rendah sebesar Rp 300 ribu. Artinya, nilai harga yang diberikan pihak proyek sebesar Rp 20 ribu per meter tidak sebanding dengan harga NJOP yang ada.
(Engkos)